Rabu, 04 Oktober 2017

PRINSIP DASAR ETIKA

2.2 Prinsip Dasar Etika

Untuk menentukan arah sebuah pemikiran atau ideologi, maka sesuatu harus mempunyai prinsip atau landasan dasar. Dengan landasan tersebut, sesuatu yang dipegangi akan menjadi kuat dan kokoh. Dalam bidang ekonomi atau perdagangan, seseorang sering mengungkap bahwa apapun yang ia jalankan adalah dianggap manfaat jika menghasilkan keuntungan. Berbeda dengan politik pada prinsipnya yang menjadi tujuan utama adalah kekuasaan dan prinsip utama dari politik adalah  kesejahteraan masyarakat.  
 Berbicara mengenai prinsip ini, semua orang pasti mempunyai prinsip masing-masing yang dipegangi agar yang ia kehendaki tercapai dengan baik. Begitu pula dalam tradisi etika atau moral ini. Dengan prinsip-prinsip ini dapat diketahui mengenai sesuatu yang baik atau tidak baik. Dalam moral hanya dikenal istilah baik dan tidak baik. Tidak seperti dalam hukum dikenal yang dikenal istilah, boleh, tidak boleh, harus, sebaiknya dilakukan dan sebaiknya ditinggalkan. Dalam moral, karena yang hanya ada dua hal baik dan tidak baik, jika sesuatu itu berlawanan dengan prinsip tersebut, maka ia dianggap tidak baik. Prinsip-prinsip utama dalam etika adalah : 

1.      Prinsip Keadilan
          Keadilan merupakan landasan atau asas yang digunakan untuk membangun dasar etika. Keadilan adalah kebijaksanaan rasional untuk melakukan perbuatan secara benar dan berguna menurut Akal. Adil dapat juga diartikan dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Lawan dari keadilan adalah zalim. Dengan begitu, dapat dimengerti bahwa kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Keadilan bisa juga diartikan dengan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena semua orang mempunyai kesamaan nilai sebagai manusia, maka tuntunan dasariah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang tanpa membedakan suku, agama, dan lainnya, dalam situasi yang sama. Misalnya ketika ada kelaparan di suatu daerah tertentu, maka pembagian sembako juga harus diberikan kepada mereka yang kelaparan tanpa memperhatikan agama dan sukunya. Namun jika dalam daerah tersebut ada yang tidak kelaparan, walaupun dalam agama dan suku yang sama maka tidak boleh mendapatkan bantuan. Sebab, yang tidak kelaparan tidak dalam keadaan yang sama. 
Keadilan yang menjadi dasar suatu etika juga menjadi salah satu sila dalam Pancasila. Dalam Pancasila sila kelima berbunyi: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Ternyata keadilan tidak hanya menjadi milik etika saja, tetapi juga menjadi salah satu dasar Negara kita. Ini berarti Negara Indonesia mempunyai cita-cita yang tinggi dalam menegakkan keadilan yang berarti juga dalam menegakkan moral yang baik.
          Di dalam agama keadilan juga menjadi hal yang menjadi perhatian. Dalam al-Qur’an misalnya, kata adil juga disebutkan bahkan beberapa kali. Selain kata adil dalam bahasa agama ada istilah wasith dan insaf. Sebelum membahas mengenai ayat dalam al-Qur’an, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai istilah dasar mengenai keadilan. 
Kata adil berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti tengah atau pertengahan. Dalam makna ini, kata adil mempunyai sinonim dengan wasth dimana pelakunya dinamakan wasith. Istilah wasith dalam bahasa Indonesia menjadi wasit yang mempunyai arti penengah atau orang yang berdiri di tengah. Hal ini juga mengisyaratkan sikap keadilan. Adil juga dapat disinonimkan dengan inshaf yang berarti setengah. Dalam bahasa Indonesia kata inshaf ini menjadi insaf yang berarti sadar. Ini berarti bahwa orang sadar adalah orang yang adil, sebab yang sanggup berdiri di tengah tanpa secara apriori memihak, adalah orang yang menyadari persoalan yang dihadapi itu dalam konteksnya yang menyeluruh, sehingga sikap atau keputusan yang diambilnya berkenaan dengan itu menjadi tepat dan benar.
          Cita-cita keadilan, menurut para ahli sejarah, secara hukum mewujud nyata dalam hukum Hammurabi. Oleh karena itu, Babilonia merupakan negeri yang pertama kali mengenal system kehidupan sosial berdasarkan keadilan. Ajaran mengenai keadilan ini sangat mempengaruhi pemikiran kenegaraan dan kemasyarakatan bangsa-bangsa Semit di lembah Mesopotamia dan sekitarnya. Keadaan itu terus berlanjut untuk kemudian menyatakan diri lebih tegas pad ajaran Nabi yang kebanyakan muncul dari kalangan Semit, termasuk Yahudi dan Arab, terutama sejak Nabi Ibrahim putera Azar dari Babilonia. 
Dalam ajaran Islam, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa keadilan menjadi salah satu perhatian yang penting. Misalnya dalam al-Qur’an dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 90, al-Nisa’ ayat 58, 135 al-Maidah ayat 8 dan masih banyak lagi ayat yang menyatakan mengenai keadilan.
          Sedangkan dalam pandangan pemikir Islam konsep keadilan tidak sesederhana yang biasa didengar. Misalnya menurut Murtadha Muthahari ada empat pengertian pokok mengenai keadilan. Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan seimbang. Hal ini berarti, jika seseorang atau instansi ingin mencapai suatu tujuan tertentu yang dikehendaki maka bagian-bagian instansi harus mempunyai porsi masing-masing yang seimbang antara satu sama lain. Misalnya, jika suatu Negara atau pemerintahan ingin mencapai kesejahteraan dan mantap serta mampu mempertahankan keberadaannya, maka ia harus dalam keseimbangan. Artinya, bahwa bagian-bagiannya harus berada dalam ukuran dan hubungan satu dengan lainnya secara tepat. Namun keberadaan ini tidak mesti menuntut persamaan. Sebab, fungsi suatu bagian dalam hubungannya dengan bagian lain dan keseluruhan kesatuan menjadi efektif tidak karena ia memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang sama dengan yang lain, melainkan karena memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang pas dan sesuai dengan fungsinya. Dalam hal ini menyatakan dengan “keadilan dalam masyarakat mengharuskan kita untuk memperhatikan dengan pertimbangan yang tepat kepada perimbangan berbagai keperluan yang ada. Kemudian ditentukan juga secara khusus perimbangan yang sesuai untuk berbagai keperluan itu dan ditentukan juga batas kemampuan yang semestinya. Dan telah mencapai tingkat ini, maka kita akan berhadapan dengan masalah kebaikan (mashlahah), yaitu kebaikan umum yang diperlukan bagi ketahanan dan kelangsungan keseluruhan. Jadi, dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah tujuan keseluruhan dan bagian hanyalah alat semata untuk mencapai keseluruhan. 
          Kedua, keadilan mengandung makna persamaan (ega-lite, musawah) dan tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun. Jadi, berdasarkan arti kedua ini maka jika orang dikatakan telah berbuat adil maka ia telah mempelakukan orang secara sama. Namun kesamaan ini tidak bersifat mutlak, namun disesuaikan dengan tugas, fungsi dan kemampuan. Misalnya anak sekolah SD tidak disamakan dengan anak SMA ketika memberi ongkos sekolah. Sebab, kalau disamakan yang terjadi malah kezaliman. Namun, kalau sesuatu tugas, fungsi dan kemampuan sama maka harus dilakukan secara sama dalam kategorinya masing-masing. Misalnya, kalau ada anak sekolah SMA yang berbuat kesalahan, misalnya bolos, merokok, tidak berseragam dan lain sebagainya, maka mereka terkena aturan yang sama tanpa memandang ia anak orang kaya, pejabat, anak pemulung dan lain sebagainya. Pokoknya kalau dalam sekolah yang sama maka mendapat peraturan yang sama. Sebab hal itu sesuai dengan fungsi yaitu anak sekolah dalam sekolahan tertentu. 
          Ketiga, keadilan diartikan dengan memberikan sesuatu kepada hak-hak pribadi dan penunanian hak kepada yang siapa saja yang berhak. Keadilan yang ketiga ini masih berkaitan dengan keadilan dalam arti yang kedua. Jika keadilan berarti hal ini maka kezaliman adalah perampasan hak dari orang yang berhak dan pelanggaran hak oleh yang tidak berhak. Keadilan dalam pemberian hak ini menyangkut dua hal; 
a. Masalah hak dan kepemilikan (rights dan properties).
          Ini tidak saja mencakup hak dan pemilikan seseorang sesuai dengan usaha dan hasil usahanya, tetapi juga mencakup hak dan pemilikan alami seperti hak bayi untuk mendapatkan susuan ibunya, berdasarkan bentuk alami berkenaan dengan kebutuhan bayi itu untuk pertumbuhan.
b. Kekhususan hakiki manusia.
          yaitu kualitas manusiawi tertentu harus dipenuhi oleh dirinya dan diakui oleh orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya yang lebih tinggi. Menghalangi orang lain dari memenuhi kualitas itu atau mengingkarinya adalah kezaliman. Keadilan yang ketiga ini bisa tercapai misalnya jika memberikan orang yang haus dengan air minum bukan dengan nasi kepadanya. Maka keadilan dalam pengertian ini meliputi pemenuhan sesuatu yang menjadi hak alami seseorang. Keadilan yang terakhir (keempat) keadilan Tuhan, berupa kemurahannya dalam melimpahkan rahmat kepada sesuatu atau seseorang setingkat dengan kesediannya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri dan pertumbuhannya ke arah kesempurnaan. Hal ini berkaitan dengan Firman Allah dalam surat Fushhilat ayat 46 yang artinya : Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya). (Fushilat/41: 46).

          Masalah keadilan Tuhan dalam sejarah Islam sangat menjadi perdebatan. Oleh karena itu untuk mengetahui lebih jauh bisa merujuk beberapa referensi mengenai hal yang berkaitan. Misalnya al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani, al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl karya al-Qadhi Abd al-Jabbar, dan beberapa karya lain. 
Untuk kehidupan modern seperti keadilan tetap menjadi landansan moral. Bukan berarti dengan perubahan masa maka prinsip ini berubah. Bahkan keadilan justru semakin menjadi bahan perdebatan dan pembahasan yang selalu hangat dalam dunia modern ini. Perbincangan mengenai keadilan muncul dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu keadilan yang menjadi landan moral harus tetap dikaji. Sebab jika tidak ada keadilan maka moral suatu bangsa akan rusak dan jika moral suatu bangsa sudah rusak maka yang akan muncul adalah hancurnya suatu tatanan sosial dan tatanan Negara yang sudah ada dan berdiri. Demikian statement Ibn Khaldun dalam karyanya al-Muqaddimah.
          Kehancuran sebuah negara ini, bisa dilihat ketika keadilan sudah dapat dibeli oleh para penguasa. Para pejabat dengan begitu mudah membeli keadilan menurut versiny sendiri yang tidak universal. Dalam struktur undang-undang dan tatanegara kita, keadilan adalah menjadi wewenang pihak tertentu, polisi, ahli hukum dan jaksa dan lain sebagainya.    Keadilan seperti ini akan bersifat partikular tidak bersifat universal. Sebab mereka mempunyai katagori dan karakter tersendiri yang berlaku dari mereka. Ini adalah baik ketika diberlakukan untuk kalangan internal mereka, namun ketika diberlakukan bagi kalangan eksternal atau orang lain sifat keadilan ini akan menghukumi yang menurut orang lain justru tidak adil.
          Oleh karena itu, untuk menentukan keadilan haruslah orang-orang yang mempunyai kapasitas yang memadai. Hal ini ketika merujuk kepada pemikir zaman dahulu, maka yang mempunyai dan dapat memikirkan keadilan dengan baik adalah para filosof. Para filosof untuk saat ini sudah susah untuk ditemukan kearifaannya, maka oleh karena itu, pemikiran para filosof yang terdahulu perlu dikaji lagi untuk dijadikan garis pedoman, bukan menjadi pedoman utama, dalam menentukan arah keadilan.
Keadilan ini juga menjadi salah satu sifat agama, atau menjadi tujuan agama apapun. Karena ini, menjadi tujuan dari agama, maka untuk menggali keadilan yang lebih dalam, perlu merujuk kembali pada norma-norma agama baik yang berupa teks suci, seperti al-Qur’an, Injil, dan semua kitab suci seluruh agama yang ada di dunia ini, ataupun berupa komentar/interpretasi dari kitab-kitab tersebut. Apabila di Islam maka merujuk pula pada hadits Nabi, beberapa ijtihad para ulama dan kesapakatan para ulama tentang hal-hal tertentu. Untuk ijtihad pada saat ini, maka perlu sekali untuk mempelajari mengenai masalah ushul fiqh dan kaidah Fiqhiyah. Dengan mempelajari kedua hal tersebut, maka keadilan yang pada saat ini sudah mengalami pengembangan yang pesat dapat diketahui dan ditentukan. 

          2.Kebebasan
          Asas kedua dari etika adalah kebebasan. Kebebasan yang dimaksud kebebasan manusia untuk berkehendak. Dalam teologi Islam kebebasan dijadikan bagian dari persoalan Qadariyah dan Jabariyah, artinya sesuatu yang oleh para teolog dan kebanyakan filsuf muslim dianggap sebagai persolaan metafisika. Namun, disisi lain, oleh Mu'tazilah, kebebasan dianggap sebagai persolaan etika. Persoalan kebebasan menjadi kajian metafisika jika dipandang dari pemahaman Jahm Ibn Sofwân yang meyakini tidak adanya kemampuan selain kemampuan Allah, pencipta perbuatan manusia. Menurut Jahm, manusia tidak memiliki kemampuan apapun. Persoalan itu juga menjadi persoalan metafisika jika dipandang dari pemahaman lawan-lawan Mu`tazilah berusaha membatasi kehendak dan kekuasaan Allah.
          Dalam kerangka etika ini, kebebasan merupakan salah satu yang menjadi kemestian ketika menjalankan dan melakukan dengan moral yang bagus. Misalnya, seseorang tidak akan bisa mencapai prestasi yang baik dan tinggi kalau ia tidak mempunyai kebebasan untuk mengaktualkan kemampuannya. Kebebasan ini secara mendasar mempunyai arti mampu untuk menentukan sendiri sesuai dengan akal dan kemampuannya. Hal ini berbeda dengan binatang yang tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya, tapi malah ia dapat bekerja sesuai dengan perintah majikan. Ada juga yang mengartikan kebabasan dengan hubungan antara aku konkret dan perbuatan yang dilakukan. Kebebasan merupakan fakta dan di antara fakta fakta yang ditetapkan orang tidak ada yang lebih jelas. Sedangkan yang dimaksud fakta di sini adalah data langsung dari pengalaman batin. Demikianlah pendapat Henri Bergson.
          Secara umum kebebasan dapat dibagi menjadi dua yaitu kebebasan eksistensial dan dan kebebasan sosial. Kebebasan sosial adalah kebebasan yang dibatasi oleh orang lain. Misalnya seseorang bebas untuk merokok dan itu adalah kebiasaan. Namun ketika berada di tempat tertentu maka kebebasan untuk merokok bisa hilang seperti ketika berada diruang ber AC, berada dirumah sakit atau beberapa tempat yang orang lain dilarang merokok. Misalnya lagi, orang bebas untuk membaca buku dimana saja, namun ketika ia berada di perpustakaan yang memang merupakan wahana orang membaca, justru kebebasan membaca dibatasi dengan waktu membaca di dalam perpustakaan sesuai dengan peraturan perpustakaan tersebut. Kebebasan sosial ini dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, kebebasan jasmani dimana kebebasan ini dibatasi dengan paksaan. Artinya, orang lain dapat memakai kekuatan fisik untuk membuat kita tidak berdaya. Kedua, kebebasan rohani. Kebebasan ini memang tidak dapat dibatasi secara langsung, karena batin seseorang tidak terbuka bagi penanganan orang lain. Tetapi karena batin seseorang terjalin erat dengan dan terungkap dalam kejasmanian seseorang, maka melalui manipulasi dari luar kebebasan rohani. Ketiga, kebebasan melalui perintah dan larangan. Misalnya, pekerja mempunyai kebebasan untuk tidak bekerja, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh larangan dan perintah. Benar, pekerja boleh tidak masuk dan itu adalah kebebasan. Namun pada sisi lain pemimpin juga bebas memecat karyawan yang tidak mengikuti peraturan perusahaan seperti sering bolos kerja. 
          Jadi, dengan kebabasan yang ada dalam etika dapat dimengerti bahwa jika seseorang ingin berlaku secara moral yang baik ataupun buruk, maka ia mempunyai kebebasan untuk berbuatnya. Dengan kebebasan yang ia miliki, dapat dinilai secara moral baik atau buruknya aktifitasnya. Namun jika tidak ada kebebasan maka seseorang tidak dapat dinilai mengenai aktifitasnya. Misalnya, orang tua mempunyai kebebasan untuk menyekolahkan anaknya kesekolah tertentu. Dengan kebebasan tersebut orang tersebut dapat dinilai bijaksana atau tidak memilihkan tempat sekolah anaknya. Namun, apabila ia untuk menyekolahkan anaknya saja tidak mempunyai kebebasan seperti pada masa Belanda anak pribumi hanya boleh sekolah ditempat tertentu maka hal itu tidak bisa dinilai sebagai keputusan yang bijak atau tidak bagi orangtua. Sebab, ia tidak mempunyai kebebasan untuk memilihkan sekolah untuk anaknya.

3.      Prinsip hormat terhadap diri sendiri
          Prinsip hormat pada diri sendiri merupakan bentuk pengejawantahan atas kebebasan dan keadilan. Kalau orang mempunyai kebebasan namun ia tidak menghormati dirinya, maka kebebasan yang ia miliki justru akan menghancurkan dirinya. Dan itu, tidak dikehendaki oleh etika. Sebab dalam etika tujuannya adalah kebahagian dan kesejahteraan bersama. Prinsip ini jika dilihat dari sudut pandang tujuan dari Syariat Islam, maka juga ditemukan. Dalam Islam tujuan syariat yang secara umum ada lima yaitu menjaga agama, menjaga jiwa dan individu, menjaga akal, menjaga harta dan menjaga sesuatu yang aksidental (‘ardh). Berdasarkan hal itu, maka menjaga diri sendiri merupakan salah satu dari syariat Islam, bahkan dari kelima tujuan syariat tersebut adalah untuk menghormati eksistensi manusia, artinya agar manusia menghormati dirinya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan menjaga agama. Dengan agama seseorang beribadah dan menyembang Tuhan dengan berbaagai aturan dan prinsip yang sudah ada. Dengan beribadah seseorang akan merasa tenang dan tentram dalam kehidupan. Sebab beragama merupakan fitrah/sesuatu yang sudah menjadi kebutuhan orang yang hidup. Begitu semua prinsip syariat tersebut untuk menjaga dan menghormati diri sendiri.
          Prinsip menghormati diri sendiri adalah prinsip bahwa setiap manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sendiri sebagai sesuatu yang bernilai bagi dirinya sendiri. Prinsip berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, individu, pusat pengertian, yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk yang berakal budi. Sebagai itu manusia tidak pernah boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi suatu tujuan lebih lanjut. Ia adalah tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri, jadi nilainya bukan sekedar sebagai sarana untuk mencapai suatu maksud atau tujuan lebih jauh. Hal itu juga berlaku bagi kita sendiri. Maka manusia juga wajib untuk memperlakukan dirinya sendiri dengan hormat. Kita wajib menghormati martabat kita sendiri.
         Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, diperkosa atau diperbudak. Perlakuan semacam itu tidak wajar untuk kedua belah fihak, maka yang memperlakukan demikian juga jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia dapat melawan. Kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar, karena berarti bahwa kehendak dan kebebasan eksistensial kita dianggap sepi. Kita diperlakukan sama seperti binatang atau batu. Hal ini juga berlaku apabila hubungan-hubungan pemerasan dan perbudakan dilakukan atas nama cinta kasih, oleh orang yang dekat dengan kita, seperti orang tua atau suami. Seseorang berhak untuk menolak hubungan pemerasan, paksaan, pemerkosaan yang tidak pantas.
          Kedua, jangan sampai seseorang membiarkan dirinya terlantar. Seseorang mempunyai kewajiban bukan hanya terhadap orang lain, melainkan juga terhadap dirinya sendiri. Seseorang wajib mengembangkan dirinya. Membiarkan dirinya terlantar berarti membiarkan dirinya menyia-nyiakan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Jika hal ini terjadi maka secara etis sudah tidak dapat dinilai. Sebab, nilainya nanti adalah hasil yang ia diperoleh. Kalau seseorang tidak berusaha maka secara otomatis ia tidak mempunyai hasil dan berarti tidak ada nilai etikanya.


          Menghormati diri sendiri bukan berarti berbuat egois terhadap dirinya. Menghormati diri sendiri berarti menghormati sewajarnya dan tidak memaksakan orang lain untuk menghormati dirinya. Seseorang apabila mau menghormati dirinya, maka secara otomatis orang lain akan menghormati pula. Misalnya, orang menghormati dirinya dengan mau mandi dengan rutin, berpakaian rapi, menggunakan parfum sewajarnya, atau mau belajar dengan baik, maka orang lain akan secara otomatis menghargai dirinya. Menghormati diri sendiri tidak dapat dilakukan dengan cara paksaan yang diharuskan kepada orang lain. Misalnya, ada lurah yang harus dihormati dan keputusannya harus diiikuti. Kalau ada orang yang berkata kurang baik kepadanya, maka ia langsung menuduh tidak menghormati dirinya, kemudian pantas mendapat hukuman atau dalam bahasa etika, orang yang berkata tidak baik tidak beretika kepada lurah tersebut. Namun, kalau lurah itu berlaku santun, mengayomi masyarakat dan menjalankan tugasnya sebagai kepala desa dengan baik, maka ia akan secara otomatis akan dihargai dan dihormati oleh orang lain. 
          Jadi, dengan menghormati dirinya, moral akan dapat ditegakkan dengan baik, dan tidak ada paksaan dalam menegakkan moral yang baik.



Sumber : http://masyharzainudin.blogspot.co.id/2010/06/prinsip-prinsip-dasar-etika.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar