2.2 Prinsip Dasar Etika
Untuk menentukan arah sebuah pemikiran atau
ideologi, maka sesuatu harus mempunyai prinsip atau landasan dasar. Dengan
landasan tersebut, sesuatu yang dipegangi akan menjadi kuat dan kokoh. Dalam
bidang ekonomi atau perdagangan, seseorang sering mengungkap bahwa apapun yang
ia jalankan adalah dianggap manfaat jika menghasilkan keuntungan. Berbeda
dengan politik pada prinsipnya yang menjadi tujuan utama adalah kekuasaan dan
prinsip utama dari politik adalah kesejahteraan
masyarakat.
Berbicara mengenai prinsip ini,
semua orang pasti mempunyai prinsip masing-masing yang dipegangi agar yang ia
kehendaki tercapai dengan baik. Begitu pula dalam tradisi etika atau moral ini.
Dengan prinsip-prinsip ini dapat diketahui mengenai sesuatu yang baik atau
tidak baik. Dalam moral hanya dikenal istilah baik dan tidak baik. Tidak
seperti dalam hukum dikenal yang dikenal istilah, boleh, tidak boleh, harus,
sebaiknya dilakukan dan sebaiknya ditinggalkan. Dalam moral, karena yang hanya
ada dua hal baik dan tidak baik, jika sesuatu itu berlawanan dengan prinsip
tersebut, maka ia dianggap tidak baik. Prinsip-prinsip utama dalam etika adalah
:
1.
Prinsip Keadilan
Keadilan merupakan landasan atau asas yang digunakan untuk membangun
dasar etika. Keadilan adalah kebijaksanaan rasional untuk melakukan perbuatan
secara benar dan berguna menurut Akal. Adil dapat juga diartikan dengan
meletakkan sesuatu pada tempatnya. Lawan dari keadilan adalah zalim. Dengan
begitu, dapat dimengerti bahwa kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada
tempatnya. Keadilan bisa juga diartikan dengan memberikan kepada siapa saja apa
yang menjadi haknya. Karena semua orang mempunyai kesamaan nilai sebagai
manusia, maka tuntunan dasariah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap
semua orang tanpa membedakan suku, agama, dan lainnya, dalam situasi yang sama.
Misalnya ketika ada kelaparan di suatu daerah tertentu, maka pembagian sembako
juga harus diberikan kepada mereka yang kelaparan tanpa memperhatikan agama dan
sukunya. Namun jika dalam daerah tersebut ada yang tidak kelaparan, walaupun
dalam agama dan suku yang sama maka tidak boleh mendapatkan bantuan. Sebab,
yang tidak kelaparan tidak dalam keadaan yang sama.
Keadilan yang menjadi dasar suatu etika juga menjadi salah
satu sila dalam Pancasila. Dalam Pancasila sila kelima berbunyi: “Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Ternyata keadilan tidak hanya menjadi
milik etika saja, tetapi juga menjadi salah satu dasar Negara kita. Ini berarti
Negara Indonesia mempunyai cita-cita yang tinggi dalam menegakkan keadilan yang
berarti juga dalam menegakkan moral yang baik.
Di dalam
agama keadilan juga menjadi hal yang menjadi perhatian. Dalam al-Qur’an
misalnya, kata adil juga disebutkan bahkan beberapa kali. Selain kata adil
dalam bahasa agama ada istilah wasith dan insaf. Sebelum membahas mengenai ayat
dalam al-Qur’an, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai istilah dasar
mengenai keadilan.
Kata adil berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti tengah
atau pertengahan. Dalam makna ini, kata adil mempunyai sinonim dengan wasth
dimana pelakunya dinamakan wasith. Istilah wasith dalam bahasa Indonesia
menjadi wasit yang mempunyai arti penengah atau orang yang berdiri di tengah.
Hal ini juga mengisyaratkan sikap keadilan. Adil juga dapat disinonimkan dengan
inshaf yang berarti setengah. Dalam bahasa Indonesia kata inshaf ini menjadi
insaf yang berarti sadar. Ini berarti bahwa orang sadar adalah orang yang adil,
sebab yang sanggup berdiri di tengah tanpa secara apriori memihak, adalah orang
yang menyadari persoalan yang dihadapi itu dalam konteksnya yang menyeluruh,
sehingga sikap atau keputusan yang diambilnya berkenaan dengan itu menjadi
tepat dan benar.
Cita-cita keadilan, menurut para ahli sejarah, secara hukum mewujud
nyata dalam hukum Hammurabi. Oleh karena itu, Babilonia merupakan negeri yang
pertama kali mengenal system kehidupan sosial berdasarkan keadilan. Ajaran
mengenai keadilan ini sangat mempengaruhi pemikiran kenegaraan dan
kemasyarakatan bangsa-bangsa Semit di lembah Mesopotamia dan sekitarnya. Keadaan
itu terus berlanjut untuk kemudian menyatakan diri lebih tegas pad ajaran Nabi
yang kebanyakan muncul dari kalangan Semit, termasuk Yahudi dan Arab, terutama
sejak Nabi Ibrahim putera Azar dari Babilonia.
Dalam ajaran Islam, sebagaimana telah disebutkan di atas,
bahwa keadilan menjadi salah satu perhatian yang penting. Misalnya dalam
al-Qur’an dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 90, al-Nisa’ ayat 58, 135
al-Maidah ayat 8 dan masih banyak lagi ayat yang menyatakan mengenai keadilan.
Sedangkan dalam pandangan pemikir Islam konsep keadilan tidak
sesederhana yang biasa didengar. Misalnya menurut Murtadha Muthahari ada empat
pengertian pokok mengenai keadilan. Pertama, keadilan mengandung pengertian
perimbangan atau keadaan seimbang. Hal ini berarti, jika seseorang atau
instansi ingin mencapai suatu tujuan tertentu yang dikehendaki maka
bagian-bagian instansi harus mempunyai porsi masing-masing yang seimbang antara
satu sama lain. Misalnya, jika suatu Negara atau pemerintahan ingin mencapai
kesejahteraan dan mantap serta mampu mempertahankan keberadaannya, maka ia
harus dalam keseimbangan. Artinya, bahwa bagian-bagiannya harus berada dalam
ukuran dan hubungan satu dengan lainnya secara tepat. Namun keberadaan ini
tidak mesti menuntut persamaan. Sebab, fungsi suatu bagian dalam hubungannya
dengan bagian lain dan keseluruhan kesatuan menjadi efektif tidak karena ia
memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang sama dengan yang lain, melainkan
karena memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang pas dan sesuai dengan fungsinya.
Dalam hal ini menyatakan dengan “keadilan dalam masyarakat mengharuskan kita
untuk memperhatikan dengan pertimbangan yang tepat kepada perimbangan berbagai
keperluan yang ada. Kemudian ditentukan juga secara khusus perimbangan yang
sesuai untuk berbagai keperluan itu dan ditentukan juga batas kemampuan yang
semestinya. Dan telah mencapai tingkat ini, maka kita akan berhadapan dengan
masalah kebaikan (mashlahah), yaitu kebaikan umum yang diperlukan bagi
ketahanan dan kelangsungan keseluruhan. Jadi, dalam hal ini yang menjadi
perhatian adalah tujuan keseluruhan dan bagian hanyalah alat semata untuk
mencapai keseluruhan.
Kedua, keadilan mengandung makna
persamaan (ega-lite, musawah) dan tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun.
Jadi, berdasarkan arti kedua ini maka jika orang dikatakan telah berbuat adil
maka ia telah mempelakukan orang secara sama. Namun kesamaan ini tidak bersifat
mutlak, namun disesuaikan dengan tugas, fungsi dan kemampuan. Misalnya anak
sekolah SD tidak disamakan dengan anak SMA ketika memberi ongkos sekolah.
Sebab, kalau disamakan yang terjadi malah kezaliman. Namun, kalau sesuatu
tugas, fungsi dan kemampuan sama maka harus dilakukan secara sama dalam
kategorinya masing-masing. Misalnya, kalau ada anak sekolah SMA yang berbuat
kesalahan, misalnya bolos, merokok, tidak berseragam dan lain sebagainya, maka
mereka terkena aturan yang sama tanpa memandang ia anak orang kaya, pejabat,
anak pemulung dan lain sebagainya. Pokoknya kalau dalam sekolah yang sama maka
mendapat peraturan yang sama. Sebab hal itu sesuai dengan fungsi yaitu anak
sekolah dalam sekolahan tertentu.
Ketiga,
keadilan diartikan dengan memberikan sesuatu kepada hak-hak pribadi dan
penunanian hak kepada yang siapa saja yang berhak. Keadilan yang ketiga ini
masih berkaitan dengan keadilan dalam arti yang kedua. Jika keadilan berarti
hal ini maka kezaliman adalah perampasan hak dari orang yang berhak dan
pelanggaran hak oleh yang tidak berhak. Keadilan dalam pemberian hak ini
menyangkut dua hal;
a. Masalah hak dan
kepemilikan (rights dan properties).
Ini tidak saja mencakup hak dan pemilikan seseorang sesuai dengan usaha
dan hasil usahanya, tetapi juga mencakup hak dan pemilikan alami seperti hak
bayi untuk mendapatkan susuan ibunya, berdasarkan bentuk alami berkenaan dengan
kebutuhan bayi itu untuk pertumbuhan.
b.
Kekhususan hakiki manusia.
yaitu kualitas manusiawi tertentu harus dipenuhi oleh dirinya dan diakui
oleh orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya yang lebih tinggi. Menghalangi
orang lain dari memenuhi kualitas itu atau mengingkarinya adalah kezaliman. Keadilan
yang ketiga ini bisa tercapai misalnya jika memberikan orang yang haus dengan
air minum bukan dengan nasi kepadanya. Maka keadilan dalam pengertian ini
meliputi pemenuhan sesuatu yang menjadi hak alami seseorang. Keadilan yang
terakhir (keempat) keadilan Tuhan, berupa kemurahannya dalam melimpahkan rahmat
kepada sesuatu atau seseorang setingkat dengan kesediannya untuk menerima
eksistensi dirinya sendiri dan pertumbuhannya ke arah kesempurnaan. Hal ini
berkaitan dengan Firman Allah dalam surat Fushhilat ayat 46 yang artinya : Barangsiapa
yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan
barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan
sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya). (Fushilat/41: 46).
Masalah
keadilan Tuhan dalam sejarah Islam sangat menjadi perdebatan. Oleh karena itu
untuk mengetahui lebih jauh bisa merujuk beberapa referensi mengenai hal yang
berkaitan. Misalnya al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani, al-Mughni fi
Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl karya al-Qadhi Abd al-Jabbar, dan beberapa karya
lain.
Untuk kehidupan modern seperti keadilan tetap menjadi
landansan moral. Bukan berarti dengan perubahan masa maka prinsip ini berubah.
Bahkan keadilan justru semakin menjadi bahan perdebatan dan pembahasan yang
selalu hangat dalam dunia modern ini. Perbincangan mengenai keadilan muncul
dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu keadilan yang menjadi landan
moral harus tetap dikaji. Sebab jika tidak ada keadilan maka moral suatu bangsa
akan rusak dan jika moral suatu bangsa sudah rusak maka yang akan muncul adalah
hancurnya suatu tatanan sosial dan tatanan Negara yang sudah ada dan berdiri.
Demikian statement Ibn Khaldun dalam karyanya al-Muqaddimah.
Kehancuran sebuah negara ini, bisa dilihat ketika keadilan sudah dapat
dibeli oleh para penguasa. Para pejabat dengan begitu mudah membeli keadilan
menurut versiny sendiri yang tidak universal. Dalam struktur undang-undang dan
tatanegara kita, keadilan adalah menjadi wewenang pihak tertentu, polisi, ahli
hukum dan jaksa dan lain sebagainya. Keadilan
seperti ini akan bersifat partikular tidak bersifat universal. Sebab mereka
mempunyai katagori dan karakter tersendiri yang berlaku dari mereka. Ini adalah
baik ketika diberlakukan untuk kalangan internal mereka, namun ketika
diberlakukan bagi kalangan eksternal atau orang lain sifat keadilan ini akan
menghukumi yang menurut orang lain justru tidak adil.
Oleh karena itu, untuk menentukan keadilan haruslah orang-orang yang
mempunyai kapasitas yang memadai. Hal ini ketika merujuk kepada pemikir zaman
dahulu, maka yang mempunyai dan dapat memikirkan keadilan dengan baik adalah
para filosof. Para filosof untuk saat ini sudah susah untuk ditemukan kearifaannya,
maka oleh karena itu, pemikiran para filosof yang terdahulu perlu dikaji lagi
untuk dijadikan garis pedoman, bukan menjadi pedoman utama, dalam menentukan
arah keadilan.
Keadilan ini juga menjadi salah satu sifat
agama, atau menjadi tujuan agama apapun. Karena ini, menjadi tujuan dari agama,
maka untuk menggali keadilan yang lebih dalam, perlu merujuk kembali pada
norma-norma agama baik yang berupa teks suci, seperti al-Qur’an, Injil, dan
semua kitab suci seluruh agama yang ada di dunia ini, ataupun berupa
komentar/interpretasi dari kitab-kitab tersebut. Apabila di Islam maka merujuk
pula pada hadits Nabi, beberapa ijtihad para ulama dan kesapakatan para ulama
tentang hal-hal tertentu. Untuk ijtihad pada saat ini, maka perlu sekali untuk
mempelajari mengenai masalah ushul fiqh dan kaidah Fiqhiyah. Dengan mempelajari
kedua hal tersebut, maka keadilan yang pada saat ini sudah mengalami
pengembangan yang pesat dapat diketahui dan ditentukan.
2.Kebebasan
Asas kedua dari etika adalah kebebasan. Kebebasan
yang dimaksud kebebasan manusia untuk berkehendak. Dalam teologi Islam
kebebasan dijadikan bagian dari persoalan Qadariyah dan Jabariyah, artinya
sesuatu yang oleh para teolog dan kebanyakan filsuf muslim dianggap sebagai
persolaan metafisika. Namun, disisi lain, oleh Mu'tazilah, kebebasan dianggap
sebagai persolaan etika. Persoalan kebebasan menjadi kajian metafisika jika
dipandang dari pemahaman Jahm Ibn Sofwân yang meyakini tidak adanya kemampuan
selain kemampuan Allah, pencipta perbuatan manusia. Menurut Jahm, manusia tidak
memiliki kemampuan apapun. Persoalan itu juga menjadi persoalan metafisika jika
dipandang dari pemahaman lawan-lawan Mu`tazilah berusaha membatasi kehendak dan
kekuasaan Allah.
Dalam kerangka etika ini, kebebasan merupakan salah
satu yang menjadi kemestian ketika menjalankan dan melakukan dengan moral yang
bagus. Misalnya, seseorang tidak akan bisa mencapai prestasi yang baik dan
tinggi kalau ia tidak mempunyai kebebasan untuk mengaktualkan kemampuannya. Kebebasan
ini secara mendasar mempunyai arti mampu untuk menentukan sendiri sesuai dengan
akal dan kemampuannya. Hal ini berbeda dengan binatang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk menentukan dirinya, tapi malah ia dapat bekerja sesuai dengan
perintah majikan. Ada juga yang mengartikan kebabasan dengan hubungan antara
aku konkret dan perbuatan yang dilakukan. Kebebasan merupakan fakta dan di
antara fakta fakta yang ditetapkan orang tidak ada yang lebih jelas. Sedangkan
yang dimaksud fakta di sini adalah data langsung dari pengalaman batin.
Demikianlah pendapat Henri Bergson.
Secara
umum kebebasan dapat dibagi menjadi dua yaitu kebebasan eksistensial dan dan
kebebasan sosial. Kebebasan sosial adalah kebebasan yang dibatasi oleh orang
lain. Misalnya seseorang bebas untuk merokok dan itu adalah kebiasaan. Namun
ketika berada di tempat tertentu maka kebebasan untuk merokok bisa hilang
seperti ketika berada diruang ber AC, berada dirumah sakit atau beberapa tempat
yang orang lain dilarang merokok. Misalnya lagi, orang bebas untuk membaca buku
dimana saja, namun ketika ia berada di perpustakaan yang memang merupakan
wahana orang membaca, justru kebebasan membaca dibatasi dengan waktu membaca di
dalam perpustakaan sesuai dengan peraturan perpustakaan tersebut. Kebebasan
sosial ini dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, kebebasan jasmani dimana
kebebasan ini dibatasi dengan paksaan. Artinya, orang lain dapat memakai
kekuatan fisik untuk membuat kita tidak berdaya. Kedua, kebebasan rohani.
Kebebasan ini memang tidak dapat dibatasi secara langsung, karena batin
seseorang tidak terbuka bagi penanganan orang lain. Tetapi karena batin
seseorang terjalin erat dengan dan terungkap dalam kejasmanian seseorang, maka
melalui manipulasi dari luar kebebasan rohani. Ketiga, kebebasan melalui
perintah dan larangan. Misalnya, pekerja mempunyai kebebasan untuk tidak
bekerja, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh larangan dan perintah. Benar,
pekerja boleh tidak masuk dan itu adalah kebebasan. Namun pada sisi lain
pemimpin juga bebas memecat karyawan yang tidak mengikuti peraturan perusahaan
seperti sering bolos kerja.
Jadi, dengan
kebabasan yang ada dalam etika dapat dimengerti bahwa jika seseorang ingin
berlaku secara moral yang baik ataupun buruk, maka ia mempunyai kebebasan untuk
berbuatnya. Dengan kebebasan yang ia miliki, dapat dinilai secara moral baik
atau buruknya aktifitasnya. Namun jika tidak ada kebebasan maka seseorang tidak
dapat dinilai mengenai aktifitasnya. Misalnya, orang tua mempunyai kebebasan
untuk menyekolahkan anaknya kesekolah tertentu. Dengan kebebasan tersebut orang
tersebut dapat dinilai bijaksana atau tidak memilihkan tempat sekolah anaknya.
Namun, apabila ia untuk menyekolahkan anaknya saja tidak mempunyai kebebasan
seperti pada masa Belanda anak pribumi hanya boleh sekolah ditempat tertentu maka
hal itu tidak bisa dinilai sebagai keputusan yang bijak atau tidak bagi
orangtua. Sebab, ia tidak mempunyai kebebasan untuk memilihkan sekolah untuk
anaknya.
3.
Prinsip hormat terhadap diri
sendiri
Prinsip hormat pada diri sendiri merupakan
bentuk pengejawantahan atas kebebasan dan keadilan. Kalau orang mempunyai
kebebasan namun ia tidak menghormati dirinya, maka kebebasan yang ia miliki
justru akan menghancurkan dirinya. Dan itu, tidak dikehendaki oleh etika. Sebab
dalam etika tujuannya adalah kebahagian dan kesejahteraan bersama. Prinsip ini
jika dilihat dari sudut pandang tujuan dari Syariat Islam, maka juga ditemukan.
Dalam Islam tujuan syariat yang secara umum ada lima yaitu menjaga agama,
menjaga jiwa dan individu, menjaga akal, menjaga harta dan menjaga sesuatu yang
aksidental (‘ardh). Berdasarkan hal itu, maka menjaga diri sendiri merupakan
salah satu dari syariat Islam, bahkan dari kelima tujuan syariat tersebut
adalah untuk menghormati eksistensi manusia, artinya agar manusia menghormati
dirinya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan menjaga agama. Dengan agama seseorang
beribadah dan menyembang Tuhan dengan berbaagai aturan dan prinsip yang sudah
ada. Dengan beribadah seseorang akan merasa tenang dan tentram dalam kehidupan.
Sebab beragama merupakan fitrah/sesuatu yang sudah menjadi kebutuhan orang yang
hidup. Begitu semua prinsip syariat tersebut untuk menjaga dan menghormati diri
sendiri.
Prinsip menghormati diri sendiri adalah prinsip
bahwa setiap manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sendiri sebagai
sesuatu yang bernilai bagi dirinya sendiri. Prinsip berdasarkan faham bahwa
manusia adalah person, individu, pusat pengertian, yang memiliki kebebasan dan
suara hati, makhluk yang berakal budi. Sebagai itu manusia tidak pernah boleh
dianggap sebagai sarana semata-mata demi suatu tujuan lebih lanjut. Ia adalah
tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri, jadi nilainya bukan sekedar sebagai
sarana untuk mencapai suatu maksud atau tujuan lebih jauh. Hal itu juga berlaku
bagi kita sendiri. Maka manusia juga wajib untuk memperlakukan dirinya sendiri
dengan hormat. Kita wajib menghormati martabat kita sendiri.
Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut
agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, diperkosa atau diperbudak.
Perlakuan semacam itu tidak wajar untuk kedua belah fihak, maka yang
memperlakukan demikian juga jangan membiarkannya berlangsung begitu saja
apabila ia dapat melawan. Kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan
atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar, karena berarti bahwa kehendak dan
kebebasan eksistensial kita dianggap sepi. Kita diperlakukan sama seperti
binatang atau batu. Hal ini juga berlaku apabila hubungan-hubungan pemerasan
dan perbudakan dilakukan atas nama cinta kasih, oleh orang yang dekat dengan kita,
seperti orang tua atau suami. Seseorang berhak untuk menolak hubungan
pemerasan, paksaan, pemerkosaan yang tidak pantas.
Kedua, jangan sampai seseorang membiarkan dirinya
terlantar. Seseorang mempunyai kewajiban bukan hanya terhadap orang lain,
melainkan juga terhadap dirinya sendiri. Seseorang wajib mengembangkan dirinya.
Membiarkan dirinya terlantar berarti membiarkan dirinya menyia-nyiakan bakat
dan kemampuan yang dimiliki. Jika hal ini terjadi maka secara etis sudah tidak
dapat dinilai. Sebab, nilainya nanti adalah hasil yang ia diperoleh. Kalau
seseorang tidak berusaha maka secara otomatis ia tidak mempunyai hasil dan
berarti tidak ada nilai etikanya.
Menghormati diri sendiri bukan berarti berbuat egois terhadap dirinya.
Menghormati diri sendiri berarti menghormati sewajarnya dan tidak memaksakan
orang lain untuk menghormati dirinya. Seseorang apabila mau menghormati
dirinya, maka secara otomatis orang lain akan menghormati pula. Misalnya, orang
menghormati dirinya dengan mau mandi dengan rutin, berpakaian rapi, menggunakan
parfum sewajarnya, atau mau belajar dengan baik, maka orang lain akan secara
otomatis menghargai dirinya. Menghormati diri sendiri tidak dapat dilakukan
dengan cara paksaan yang diharuskan kepada orang lain. Misalnya, ada lurah yang
harus dihormati dan keputusannya harus diiikuti. Kalau ada orang yang berkata
kurang baik kepadanya, maka ia langsung menuduh tidak menghormati dirinya,
kemudian pantas mendapat hukuman atau dalam bahasa etika, orang yang berkata
tidak baik tidak beretika kepada lurah tersebut. Namun, kalau lurah itu berlaku
santun, mengayomi masyarakat dan menjalankan tugasnya sebagai kepala desa
dengan baik, maka ia akan secara otomatis akan dihargai dan dihormati oleh
orang lain.
Jadi, dengan menghormati dirinya, moral akan dapat ditegakkan
dengan baik, dan tidak ada paksaan dalam menegakkan moral yang baik.
Sumber : http://masyharzainudin.blogspot.co.id/2010/06/prinsip-prinsip-dasar-etika.html